Sunny Cerpen

Hujan, Pelangi dan Aku

Namaku Mentari, aku punya teman baik bernama Pelangi. Setiap hari kami selalu bermain bersama, terkadang sampai tidak mengenal waktu. Sampai-sampai orang tua ku juga terkadang marah padaku karena terlalu banyak bermain. Tapi tidak pada pelangi, ia adalah anak yatim piatu yang selalu ceria dan menebar senyumnya, itu adalah salah satu alasan mengapa aku begitu menyukainya. Ya, aku menyukainya.

Suatu hari aku dan Pelangi bermain di taman. Kami bernyanyi bersama dan menari bersama.

“Aku akan bersinar seperti mentari dan menerangi dunia.” Aku menyanyikan lagu ku sendiri dengan nada asal begitupun Pelangi.

“Aku ingin memberi warna warni indah dan tersenyum untuk dunia.” Pelangi bernyanyi lalu berputar mengelilingiku. Dia sangat cantik, aku jadi iri padanya.

Kami berhenti bernyanyi lalu duduk di kursi taman. Kami memandangi matahari yang tengah bersinar terang.

“Lihat Mentari, setiap hari Matahari selalu menyinari bumi. Aku iri padanya. Seandainya saja, ada yang bernama pelangi di langit.” Ucap Pelangi.

“Tentu akan sangat cantik langit itu. Ya, sangat cantik bukan?” Aku melihat matanya sedikit layu namun ia tetap tersenyum. Aku tahu ia tak pernah menangis hanya untuk melihat pelangi.

“Tapi sayang Ri, pelangi hanya datang setelah langit menangis. Hujan..” Ucapnya lagi. Kini ia memandangku nanar.

“Aku tak pernah ingin langit menangis, meskipun hanya untuk sekali saja melihat pelangi dilangit.” Lanjut Pelangi. Ia kembali menatap langit yang begitu cerah, seakan matahari itu tersenyum ia membalas senyumannya.

“Huft.. Pelangi. Kamu baik dan..”

TIK TIK TIK

Perlahan air langit membasahi wajahku. Aku menarik tangannya dan mencari tempat berteduh. Kulihat pelangi begitu kedinginan. Hujan pun semakin deras dan sangat deras.

“Kapan hujan ini berhenti, deras sekali. Kita tak bisa pulang kalau terus begini.” Ucap ku.

Hari ini begitu aneh. Tadi langit cerah tiba tiba kurasakan tetesan air hujan. Lalu perlahan awan hitam berkumpul dan menutupi matahari. Langit berubah gelap dan mengerikan. Hujan tak henti henti nya membasahi bumi.

Tiga jam sudah hujan begitu deras. Kurasakan seluruh tubuhku dingin. Untung tidak sampai beku. Aku melihat pelangi yang memandangi hujan. Kali ini bibirnya membentuk garis datar.

“Kenapa langit menangis ya?” Ku dengar gumamam dirinya. Ia nampak tak senang. Mungkin karena hujan nya begitu lama dari pada yang biasa terjadi. Atau bahkan hujan ini tak akan pernah berhenti.

“Hiks.. Hiks.. Hiks..”

Tangis itu, seperti tangisan seorang laki laki yang tak jauh dari sini. Kedua mataku pun sibuk melihat seluruh isi taman. Dan nampak seorang anak lelaki tengah berjalan menunduk lalu duduk di kursi taman yang tadi kami duduki. Ia nampak sesenggukan dan menangis tanpa henti. Air matanya menetes bercampur dengan air hujan.

“Hiks.. Hiks..” Ku dengar tangisan nya semakin jelas, ku lihat Pelangi juga memperhatikan anak itu.

“Ri, kita harus membantu anak itu. Aku tak tega melihat nya menangis. Sama seperti langit itu.”

Aku menangguk. Ia menarik lenganku menuju anaka itu. Kini kami benar benar basah kuyup oleh hujan.

Wajah anak itu mendongak, ku lihat wajahnya yang tampan dan putih pucat. Matanya sembab, mungkin karena terlalu banyak menangis. Apa ia sudah menangis selama langit menangis?

“Hai.. Ayo kita berteduh disana. Kamu tidak mau sakit kan?”

Pelangi mengulurkan tangannya, tapi anak itu menggeleng. Tangisnya pecah.

“Ayo!” Aku ikut mengulurkan tanganku padanya dan ia tetap tidak mau.

Pelangi dan aku tak bisa memaksanya, kami pun duduk di samping anak itu. Aku di kiri nya dan Pelangi di kanannya.

“Kenapa kamu terus menangis?” Tanya Pelangi. Anak itu kini menatap Pelangi.

“Aku sendirian. Kedua orang tua ku baru saja meninggal karena kecelakaan. Aku tak ingin sendirian.” Jawabnya. Baru kusadari tangannya terluka. Bekas darah nya telah terhapus air hujan.

“Kalau begitu sekarang kami jadi temanmu. Boleh ku tahu siapa namamu?” Pelangi menjawab enteng. Ia kembali mengulurkan tangannya. Kini anak itu menjabat tangan Pelangi dengan nampak ragu.

“Nama ku Hujan.”

Aku sedikit terkejut mendengar namanya. Hujan? Kulihat air matanya tidak sederas sebelumnya. Begitupun hujan yang sedikit mereda meski masih terasa airnya.

Pelangi tersenyum. Ia tak nampak terkejut seperti ku.

“Aku Pelangi. Aku selalu ingin melihat Pelangi.” Balas Pelangi. Mereka melepaskan jabatan tangannya.

“Aku Mentari. Aku akan selalu menyinari dunia. Aku memang bukan matahari. Hey, lihat.. bukan kah wajah ku bersinar.” Tanpa permisi aku ikut bicara dengan mereka. Sambil menghapus air di wajahku. Aku tersenyum sangat cerah.

Hujan tertawa. Entah apa yang lucu. Tawanya renyah di telingaku. Pelangi lagi lagi tersenyum seakan memberi warna pada tawa Hujan. Aku ikut tertawa saja. Mungkin ia menertawakan rambut panjang ikal ku yang jadi agak lurus terkena air hujan.

Kami bicara dan tertawa bersama. Pelangi mulai menyanyi diikuti senandung nanana ku. Hujan bertepuk tangan seolah memberi musik.

Hujan berhenti. Aku tak lagi merasakan air mengguyurku. Perlahan warna warni indah menyiram bumi, di temani cahaya terang matahari yang menghilangkan awan awan hitam menyeramkan tadi. Pelangi tersenyum. Begitupun Hujan si tampan disamping ku.

“Itu benar benar Pelangi.” Gumam Pelangi. Ia nampak menghitung warna di langit.

“Mentari, Hujan.. Lihat! Itu pelangi.”  Pelangi benar benar senang. Aku pun begitu. Hujan nampak memeriksa langit biru tanpa awan itu.

“Indah dan cantik sepertimu.” Ucap Hujan. Ia menatap Pelangi.

“Ya, dia sangat cantik.” Lanjutku.

“Matahari itu juga sangat manis sepertimu Mentari.” Ucap Hujan lagi. Aku senang mendengarnya.

“Ini semua karena Hujan..” Pelangi masih menatap langit.

“Tapi..” Kini kedua maniknya fokus pada wajah Hujan.

“Aku tak ingin kau menangis lagi. Aku tak ingin langit ikut menangis, saat kau menangis Hujan.” lanjut Pelangi. Ucapannya secara tak langsung menyadarkan ku bahwa hujan yang terjadi tiga jam ini karena seorang anak lelaki tampan bernama Hujan. Karena Hujan menangis. Terdengar tak logis bukan?

Hujan tersenyum. Aku pun begitu. Aku berjalan ke tengah mereka. Merangkul mereka berdua.

“Jangan ada yang menangis lagi ya. Kalau kalian menangis maka langit akan menangis. Terutama kamu Hujan. Kamu harus belajar tertawa denganku dan belajarlah tersenyum dengan Pelangi.” Ucap ku. Kulihat senyum mereka tak pernah pudar.

“Iya Mentari. Hujan, kamu bisa tinggal bersama ku di Panti Asuhan.” Ucap Pelangi.

Ku lihat matanya nampak berair. Bukan sebuah kesedihan melainkan haru. Ia meneteskan air mata nya lagi, matanya berkaca kaca. Bisa kurasakan setetes air langit menyentuh hidungku. Tapi langit tetap cerah. Begitupun wajahnya yang mengukir senyuman manis. Lebih manis dari pada senyuman yang sering kulihat di wajah Pelangi. Aku memeluk mereka berdua erat.