Witch In Love (My World Be Yours Is When You Hug Me) chapter 2

Chapter 2 “Book About Magic”

Alifa mengetuk ngetuk pintu dengan cepat. Urat sabar nya seakan baru saja putus. Kini, ia menggedor pintu hijau itu karena kesal.

“Buka! Atau kubunuh kau!” Teriak Alifa sekeras mungkin. Semacam ancaman maut. Ia harap agar orang diluar yang berani menguncinya di dalam ruangan segi empat yang gelap tak nampak apapun, akan mendengarnya dan segera membuka pintu.

“Heyyy! Jangan becanda. Cepat Buka!!” Gadis itu terengah. Ia melepas dasi kupu kupu nya yang sudah kendur lalu melemparnya asal.

Sudut matanya tak berhenti memperhatikan seluruh isi ruangan itu. Gelap. Sangat gelap. Hanya sebuah piano besar dibawah cahaya kecil yang nampak terlihat. Ia kembali menggedor pintu itu. Tapi kini dengan jeda waktu lebih lambat.

“Buka…. Kumohon.. Aku takut.” Tangisnya pecah. Bibiir bawahnya bergetar. Perlahan tubuhnya turun namun masih bersandar pada pintu. Gelap membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Hanya perasaan bingung yang menyelimuti otaknya. Tanpa sadar ia memejamkan matanya. Menikmati musik keheningan yang serasa mengancam kehidupan selanjutnya.

.
.
.
.

Terbuka. Perlahan kedua mata almond itu terbuka. Agak sulit namun akhirnya bisa. Gadis kelas 11 itu terbaring di ruang uks. Tidak sendirian. Disampingnya berdiri seorang pria bermata biru laut yang sejuk. Samar samar matanya melihat rambut kuning yang nampak acak acakan. Serasi dengan setelan seragam nya yg tanpa blazer dan 2 kancing terbuka di atas kemejanya.

“Daijobu desu ka?” Tanya nya lembut. Sangat lembut. Bahkan saat kedua bola mata hijau bertemu tatapan biru yang begitu lembut. Alifa yang baru saja terbangun ingin segera masuk ke dunia orang didepannya. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Mungkin teman? Ah.. Apa yang ia pikirkan saat ini hampir menuju kegilaan. Berhenti Alifa! Kau bahkan baru mengenalnya tadi.

“A.. A..u aku, aku baik. Ya..” jawab Alifa pelan.

Entah apa yang ada dipikiran gadis cantik yang masih dalam keadaan kacau itu. Sungguh, masih ada sedikit trauma akibat kejadian 2 jam yang lalu. Rasa takutnya akan kegelapan tentu tak bisa ia lawan atau belum. Dan phobianya pada piano sangat sulit untuk dilupakan. Tapi, yang ia keluarkan dari mulutnya ialah kalimat yang berlawanan dengan keadaan nya kini.

“Kau bohong. Kau tidak sedang baik baik saja. Ya kan? Jangan memaksakan dirimu.” Ucap siswa itu.

Bukannya menjawab pertanyaan itu atau berkata iya. Alifa justru tertarik pada tulisan merah di kemeja putih siswa itu. “Denny Singing Clew” Ia membaca dalam hati.

“Terima kasih. Sebenarnya aku masih takut. Piano itu seperti bermain sendiri.” Ucap Alifa, bersamaan dengan bayangan singkat yang terputar sendiri diotaknya. Tentang piano di bawah cahaya merambat lurus yang terdengar menghasilkan melody. Melody keheningan.

“Kenapa kau bisa ada disana? Dan pintu itu terkunci dari dalam tapi kau tak bisa membukanya?” Tanya Denny, tatapan nya mendadak berubah tajam. Alifa memandang kasurnya meremasnya dengan kedua tangannya.

“Bisakah?-” Alifa menatap nanar pandangan Denny.

“-Kau menceritakan apa yang terjadi padaku?” Lanjut gadis itu. Sedikit tersentak hati Denny mendengarnya. Tapi ia masih dengan posisi nya yang berdiri memandang Alifa dibalas dejgan tatapan nanar Alifa yang menahan tangis.

***

Gadis itu berjalan dikoridor sekolah lantai pertama. Sendirian sambil menggendong tas hitamnya yang nampak lebih rapi dari dirinya. Tentu saja, kini ia nampak mengikat rambutnya asal. Tanpa dasi dan satu kancing terbuka. Poninya dijepit kebelakang dan menyisakan anak rambut yang menutupi dahinya.

“Aku dengar ia mengunci dirinya sendiri dan berniat mengakhiri hidupnya.” Bisik salah seorang siswi di koridor kepada temannya.

“Kalau yang aku dengar. Ia hampir saja diperkosa loh! Menyeramkan ya?” Bisik gadis yang bersandar di koridor 5.

“Mana mungkin seseorang menguncinya dari dalam dan tak ada orang selain dirinya disana? Heh.. Sekolah kita berhantu?” Bisik lagi siswa yang ikut bergerombol bersama para siswi.

Gadis itu berdiri tepat didepan lokernya dan membukanya pelan, lalu mengambil sebuah buku tebal disana.

“Aku yakin, sebenarnya ia hanya ingin mencari kepopuleran saja. Selama ini kan ia selalu jadi nona paling sok tahu dan sok pintar dengan fashionnya yang ketinggalan jaman.. Hahaha.” Dan lagi, siswi dengan rambut pendek berbisik kepada 2 orang teman gadisnya. Tepat 2 ubin dari jarak dimana gadis bermata hijau itu berdiri.

Gadis yang tak lain adalah Alifa itu menutup kasar lokernya. Mereka (para siswi disampingnya) langsung ber-upsi ria sambil menutup mulutnya dengan jadi jari lentik mereka di depan mulut dan dagu mereka. Tatapan tajam meremehkan Alifa pancarkan dengan sangat ikhlas pada gadis gadis ceriwis didepannya.

“Upsi.. Kurasa, kita baru saja berkata hal yang benar tentang si cupu ini. Say what girls?” Ucap si rambut pendek pirang kecoklatan itu lalu mengangkat tangan kirinya hingga setara dengan wajahnya sambil menunjuk Alifa.

“Poor you!” Jawab mereka kompak. Termasuk si pirang kecoklatan itu.

“Kau tahu. Kau sangat cantik.. Putri..” Ucap Alifa datar. Mereka mulai ber-ooh lala ria bersama.

“Aku memang cantik” Balas Putri. Sambil sedikit mengibas rambutnya.

“Tapi hatimu lebih busuk dari bunga bangkai. Tak lebih baik dari sampah. Dan kau hanya seorang pecundang yang akan selalu berada dibelakang bokong ibumu.” Lanjut Alifa dengan nada yang semakin tinggi.

Putri dan kedua temannya nampak kesal dan marah. Tapi Alifa telah meninggalkan mereka dan berjalan lebih cepat menjauhi mereka. Sampai punggung gadis itu tak nampak lagi. Jelas, Putri mengepalkan kedua tangannya sendiri.

“Heh! Dasar bodoh! Menyebalkan..! Lihat saja nanti. Kau akan segera menyesal! Stupid Carr!” Teriak Nona Sleved. Beberapa orang melihatnya dengan tatapan bingung. Mungkin terbesit di pikiran mereka ‘Gadis itu gila?’

***

“Sudah jam 3 sore.” Ucap murid laki laki itu saat memandang jam di tangan kirinya. Agak aneh memang, jika ia memesan makanan di kantin dan makanan itu sudah ada di meja namun ia tak menyentuhnya sama sekali. Padahal mie ayam itu nampak sangat lezat.

BRAKK

“Jalang sialan. Beraninya kau mengotori baju ku!” Teriak seorang siswi tak jauh dari Denny yang masih tetap pada posisinya.

“Maaf, aku kan sudah bilang tak sengaja.” Ucap lagi siswi dengan rambut lurus kemerahan dengan mata coklat terang.

“Kau pikir maaf bisa membuat baju ku bersih kembali? Hah?” Bentak siswi itu lagi. Nampak blazer biru gelapnya basah dan kotor akan jus alpukat.

“Kau mau jika aku bawa blazer mu dan mencucinya? Aku bisa lakukan itu.” Jawab siswi yang satunya. Sedikit penekanan pada kalimat yang digaris miring.

“Heh! aku tak akan membiarkan mu menyentuh baju ku ya. Huh, menyebalkan!” siswi yang marah marah itu melepas blazer nya.

“Lalu apa maumu hah?! Jalang sok cantik.” Aura kemarahan mulai menjalar di wajah Rezka. Ya, Rezka Luff Kyzharyl. Gadis yang tak sengaja menumpahkan jus alpukat pada baju Putri Chayn Sleved.

“Beraninya kau….”

PLAKK

Tamparan keras baru saja didaratkan seorang Sleved di pipi kiri siswi bertubuh besar nan gendut dengan kulit putih. Hey? Gadis itu sedang duduk dan makan di meja kantin dekat Rezka berdiri.

Rezka memandang Putri dengan tatapan bingung. Sementara Putri nampak terkejut sendirir dengan apa yang baru saja dilakukannya. Bukannya niatnya adalah menampar Rezka. Bukan siswi gendut ini.

Marah, kesal, wajahnya memarah bak kepiting rebus. Mendadak suhu di kantin naik menjadi 50°C. Panas, benar benar panas. Kini, siswi gendut itu berdiri dan melotot pada Putri. Membuat Putri mendadak menciut.

“A.. Aku… Aaaaaaaaa!” kerah Putri ditarik kasar. Rezka yang masih bingung memilih pergi menjauh dari mereka. Walau sebenarnya ia ingin melihat apa yang terjadinya selanjutnya. Ya, akan menyenangkan pastinya.

Disamping Rezka yang berjalan meninggalkan kantin. Denny yang baru memegang sendoknya nampak tersenyum. Sebuah senyuman yang misterius. Belum ada yang bisa mengartikan apa arti senyuman itu.

..
.
.
..

Rezka berlari. Ia berlari menuju perpus. Berharap perpus belum ditutup. Hari ini hari terakhirnya untuk mengembalikan buku di perpus.

“Huh.. Huh.. Masih dibuka ternyata.” Ucapnya sendiri. Perlahan ia menggeser pintu itu. Mengintipnya sebentar. Nampak seorang siswi tengah membaca dengan serius. Disamping siswi ada 5 tumpukan buku.

‘Gadis pintar’ pikir Rezka. Ia pun membuka lebar lebar pintu itu lalu masuk kesana. Tentu, ia telah melepas sepatunya.

Ia meletakan bukunya di atas meja pengembalian buku. Tidak ada penjaga perpus. Ia pun mengisi ceklist di buku sendiri bahwa ia telah mengembalikan buku membosankan menurutnya itu. Buku kimia.

Siswi yang tengah membaca buku itu sama sekali tidak bergerak dari mejanya. Matanya tak sedikitpun menoleh ke arah Rezka yang tengah memperhatikannya intens. Rasa tertarik muncul di benak Rezka. Ia pun mendekati siswi itu dan duduk didepannya.

“Wow.. Magic in wonderland? It’s a nice book.” Bisik Rezka. Tentu saja. Ini kan perpustakaan. Dilarang berisik.

Rezka langsung mendapat tatapan penuh tanya. Tapi itu hanya sementara. Setelah siswi di depannya bilang “Kau sudah membacanya sampai selesai?”

“Ya, akhir yang sulit ditebak, kau tahu.” tegas Rezka sambil tersenyum.

“Ah.. aku tidak sabar menyelesaikan buku ini. Setelah ini aku akan meminjamnya.” Ucap siswi itu

“Namaku Rezka Kizarhyl. Panggil aku Rezka. Kau?” Rezka mengajak gadis ikal itu berjabat tangan.

“Alifa Carr. Alifa saja.” Jawab Alifa dengan cengiran khasnya.

“Sebenarnya aku tak begitu suka baca buku. Aku hanya suka yang benar benar menarik untukku dan buku yang sedang kau baca itu adalah buku favoritku.” Cerita Rezka.

“Apa itu karena kau suka sihir? Atau kau percaya penyihir itu ada.” Ungkap si Nona Carr ini. Seketika saja Rezka mengernyitkan dahinya.

“Ehm.. Sihir? Ya, aku suka… Tapi, jujur aku tidak pernah sedikitpun berpikir bahwa sihir itu ada. Dan kalaupun ada. Apa mereka bisa disebut manusia yang sederajat dengan kita? Kurasa tidak.” Jelas Rezka yang ia akhiri dengan senyuman.

Alifa nampak mencerna setiap kata yang diucapkan. Bisa disimpulkan bahwa kalimat itu mengandung arti bahwa suka bukan berarti percaya. Tapi jika ketidakpercayaan itu salah maka kita bukanlah mereka. Mungkin mereka lebih istimewa karena apa yang tidak dipercaya orang dimilikinya. Atau mereka lebih rendah karena mereka memiliki hal yang mustahil untuk dipercaya. Pertanyaannya adalah ‘Siapa orang yang mengarang cerita tentang sihir?’ Kalau sihir itu benar adanya. Legenda disini mengatakan bahwa manusia dan penyihir telah punya dunia masing masing. Jika itu benar berarti memungkinkan para penyihir untuk pergi mengunjungi dunia manusia? Tapi untuk apa? Pasti tidak untuk tujuan sepele. Karena pasti ada suatu pembatas yang membatasi dunia manusia dan penyihir dan itu bukanlah hal yang sulit ditembus. Meski dengan sihir yang paling kuat.

“Melamun?” Tanya Rezka tiba tiba. Alifa tersentak kaget.

“Kau tidak berpikir aku seorang penyihir yang berusaha menyembunyikan sihir ku kan?” ucap Rezka asal. Sontak membuat Alifa tertawa keras. Begitupun Rezka. Hey, ini perpus. apa mereka lupa?

Mereka masih tertawa. Tapi entah kenapa, Alifa jadi semakin tertarik tentang sihir. Ya, sihir? Sesuatu yang ia lihat di gudang waktu itu bukanlah trauma nya yang membuat sugesti, bukan juga hantu yang berkeliaran di siang bolong. Apa jawabannya adalah sihir? Itu artinya ia bisa menemukan seorang penyihir di sekolah ini?

“Shuuut.” Rezka mengedepankan jari telunjuknya di mulutnya. Mereka berhenti tertawa.

“Kau tahu. Setelah membaca buku ini aku jadi tertarik dengan sihir. Aku akan membaca buku yang lain.” Ucap Alifa. Lalu ia berdiri dan beranjak pergi menuju lemari lemari penuh buku.

“Hey! Kau sudah selesai dengan buku itu? Bukankah kau baru membaca buku itu?” Teriak Rezka. Dan mereka masih di perpustakaan.

***

Lelaki bersurai kuning  dengan mata safir yang nampak dingin itu berjalan santai di koridor. Rambut kuning nya nampak berantakan dan ia berkeringat. Tentu bukan tanpa alasan. Ia baru saja ada pelajaran olahraga. Di jam 4 ini harusnya ia pulang karena tak ada lagi kegiatannya di sekolah ini. Ya, ia murid baru dan belum mengikuti satu pun ekskul di sekolah ini. Tapi, apa yang dilakukannya sekarang?

Denny masuk ke sebuah kelas yang kosong. Bukan kelasnya. Tapi kelas 10 yang memang sudah pulang 1 jam yang lalu. Tepatnya di 10.C. Kelas 10 paling pojok dan nampak sangat sepi.

Ia menutup pintu itu rapat. Sedikit mengintip sebelum ia menutup semua gorden nya. Dilihatnya sebuah cctv menempel di ujung dinding. Ia menatapnya tajam. “Buussh..” Asap keluar dari cctv itu. Sepertinya sudah rusak. Dan itu benar. Ya, pertanyaan nya adalah , siapa yang merusaknya?

Sekarang ia menatap papan tulis putih didepannya. Mengetuknya 3 kali dengan tangan nya dan menulis menggunakan spidol disitu. Ia menulis sebuah huruf aneh yang pastinya bukan huruf yang sedang kau baca sekarang. Itu lebih mirip tulisan kuno.

Seperti suara api besar yang baru muncul. Tiba tiba ada sebuah wajah di papan tulis. Warna wajahnya sama dengan warna papan tulis itu. Dan wajah itu mulai bergerak. Benar benar hal yang sulit dibayangkan manusia. Tapi kini Denny dengan sangat tenangnya melihat hal itu.

“Aku sudah melihat gadis itu. Aku tidak menyukainya. Dia nampak lari dari masalah saat aku membantunya. Dia nampak bodoh.” Ucap Denny pada papan tulis itu. Muncul bayangan di pikirannya saat jam istirahat di kantin tadi. Saat ia menolong gadis berambut lurus kemerahan yang nyaris terkena tamparan dari gadis yang lebih pantasa disebut nenek sihir jahat.

Wajah itu bergerak lagi. Ke kanan lalu kekiri dan kini ia menatap wajah Denny. Perlahan mulutnya terbuka.

“Haaah.. aku lelah bertemu kau disini. Lain kali jika memanggilku lebih baik di rumah mu saja. Huhh.. Nafasku sesak.” Keluh wajah lelaki tua di papan tulis itu.

“Ya, ya aku mengerti. Tapi apa benar gadis itu adalah gadis yang tepat? Aku tidak salah kan? Dia nampak tidak menyadari apa apa. Dia nampak..”

“Baru beberapa jam kau memperhatikannya. Kau sudah protes panjang lebar. Sebaiknya kau dekati dia dulu. Aku tidak ingin hanya karena ulahmu kau gagal dan mengacaukan segalanya. Ingat dengan kondisi dunia penyihir sekarang. Tanpa perasaan dan penuh kekuatan. Kekuatan yang hanya menjadi bumerang. Lalu apa tujuanmu ke bumi? Kau lupa?”

“Ya, aku ingat. Aku harus belajar tentang perasaan. Menumbuhkan sebuah rasa. Setelah itu kembali ke Negri Penyihir dengan membagikan sebuah rasa yang katanya hanya bisa dirasakan oleh orang yang beruntung.” Jawab Denny.

Wajah itu tersenyum.

“Kau benar. Sekarang lakukan yang harus kau lakukan. Dan tetap sembunyikan identitasmu.”

***

Jari jari mungil itu menyentuh tuts keyboard. Asal tanpa nada. Rambut coklat gelap nampak berantakan. Sangat.

Kesal. Lelaki itu nampak sangat kesal. Gadis yang ia suka sama sekali tidak memperhatikannya.

CITT

Pintu berdecit. Terbuka. Seorang gadis masuk kedalam sana. Ruang musik. Tidak ada piano untungnya. Jika ada gadis ini bisa pingsan seperti di gudang waktu itu.

“Hay, Kau belum pulang Mr. Gates?” Tanya Alifa, sambil menguncir rambutnya.

“Huuh… Miss. Carr, Kau mau apa? -kesini?” Tanya lelaki itu dengan nada malas.

“Kau yang memintaku. Aku sampai harus meninggalkan teman baruku di perpus sendiri.” Kesal Alifa menjawab pertanyaannya.

“Maaf, aku hanya capek hari ini. Temui aku besok, disini. Ok?” Ucap Julian masih dengan nada malas. Ia berjalan menuju pintu. Benar benar menyebalkan. Pikir Alifa saat itu juga. Ia memandangi punggung Julian yang kini sudah sampai di mulut pintu. Saat ia akan membukanya pintu itu telah terbuka. Atau – dibuka. Saat itu ada seseorang yang benar benar membuatnya kaget.

Seorang gadis berambut lurus kemerahan dengan mata coklat yang terang muncul di depan Julian. Membuat Julian agak kaget. Tapi setelah itu ia langsung berjalan lagi melewati gadis itu. Rezka, gadis itu. Nampak bingung. Ia hanya disambut dengan senyuman kaku Alifa yang memperlihatkan gigi gigi putihnya.

“Ehm.. Dia, dia sedang.. Kenapa dia?” Kikuk Rezka berucap. Alifa mendekati Rezka yang masih didepan pintu dan menuntunnya duduk.

“Dia memang aneh. Tapi, jika kau mengenalnya lebih lama. Dia benar benar teman yang baik. Jangan hiraukan tatapannya tadi. Ok?” Jelas Alifa.

“Bu.. Bukan. Aku mengenalnya saat tes menyanyi tadi pagi. Ya, memang baru sih. Tapi tatapan itu? Itu.. Seperti…”

“Lupakan cowok itu. Sekarang lebih baik kau ceritakan padaku apa yang kau tahu tentang magic. Sebuah sihir. Aku yakin kau telah banyak baca buku tentang itu. Dan aku baru baca 10 buku untuk 2 hari ini.”

Rezka melotot. Kaget. Tentu saja. Ia bahkan harus menghabiskan waktu 2 bulan untuk membaca 1 bukunya. Bagaimana bisa gadis ini hanya butuh 48 jam untuk mebaca10 buku. Tebal pula.

“Ayo ceritakan yang kau tahu,” Pinta Alifa sekali lagi.

Disitu Rezka nampak berpikir. Sekiranya ia memang telah membaca buku tentang penyihir lebih banyak dari pada Alifa. Mungkin 24 buku berbeda. Untuk 6 tahun terakhir ini. Ia bingung dari mana ia harus memulai. Begitu banyak cerita dan pengetahuan tentang sihir yang di dalam otaknya.

“Baiklah, aku lupa judul buku itu tapi… Aku ingat ceritanya. Tentang bagaimana seorang penyihir yang menjalin hubungan terlarang dengan manusia.” jelas Rezka. Terlarang(?)

“Semua nya dimulai saat..”

–to be continued

Posted from WordPress for Android

Witch In Love (My World Be Yours Is When You Hug Me)

Aku akan jadi berbeda. Berbeda dimana aku satu satunya yang berbeda diantara mereka. Aku berpikir.. Siapa aku nanti diantara mereka? Aku yang mungkin akan selalu bergantung pada jam ditangan kiri ku. Aku yang takkan pernah berhenti merasakan hujan di musim panas nanti. Aku yang sama sekali tidak mengenal bintang, nada dan api. Dapatkah aku hidup diantara mereka. Dapatkah aku bertahan ikut merasakan setiap emosi dan perasaan mereka? Yang memang akan terasa sangat asing bagiku. Perasaan labil antara bahagia dan sakit. Emosi yang tertahan hanya dibenak seseorang dan sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Apa aku kan mengerti. Apa aku bisa? Ataukah mungkin.. Aku? Akan jadi bagian diantara mereka? Bagian dari emosi mereka? Seorang manusia setengah penyihir yang hidup bersama seutuhnya manusia.

prolog-

Konon. Dijaman dahulu. Kaum Bonpo hidup berdampingan dengan kaum penyihir. Bukan sebuah keanehan pada saat itu, karena persahabatan mereka didasari dengan kasih dan sayang begitu kuatnya. Ya, segenggam cinta yang tak sengaja disebarluaskan oleh dewi keberuntungan di seluruh penjuru dunia membawa dampak yang begitu kuat pada kehidupan Bonpo kala itu.

Masa pemerintahan kesebelas adalah masa yang dipimpin oleh seorang penyihir. Kenapa, karena sesuai perjanjian di masa pemerintahan kedua. Bahwa akan ada dua keluarga yang ikut serta dalam pemerintahan. Satu dari kaum Bonpo dan satunya lagi kaum penyihir. Yang akan bergantian setiap 2 kali masa pemerintahan. Setelah 215 tahun seorang Bonpo yang menjadi orang paling dihormati. Kini giliran seorang penyihir memimpin. Chavius Zagirtta Marlayhch. Itulah orang nya. Yang baru mendapat gelar Ratu untuk negara Kitsuishi.

Setengah abad berjalan mulus. Namun adu domba mulut seorang penjilat telah membuat pertikaian terjadi antara keluarga Sceeliryn (Bonpo) dan keluarga Marlayhch (penyihir). Ratu dituduh telah menggunakan mantra pembunuh kepada seorang Bonpo dari rakyat lemah tepatnya pada seorang lelaki bernama Richardo Merlyt Ziov. Ratu juga dituduh telah menjadikan Richardo sebagai budak nafsunya yang harus menjilati perutnya setiap malam. Lalu merasa Richardo akan membocorkan rahasianya kepada suaminya yang bernama Hens Zlavo Marlayhch, Ia pun menggunakan mantra pembunuh kepada Bonpo tak berdaya itu. Tapi semua itu hanyalah tuduhan. Tuduhan dari salah seorang yang tak suka dengan Ratu Chavius. Tuduhan yang begitu kuat karena bukti bukti palsu yang sengaja dibuat sebegitu demikiannya sehingga tak bisa dilacak kepalsuannya. Tuduhan yang dianggap benar bahwa itu nyata oleh keluarga Sceeliryn. Tepat pada tahun 266, itulah awal permusuhan antara kaum Bonpo dan penyihir.

Tak ada perang. Tak ada angkat senjata. Hanya saja, Edlyus Za Sceeliryn, seorang pangeran sekaligus penasihat kerajaan. Memilih jalan lain selain harus menghukum Ratu Chavius dengan membunuhnya. Yakni, berhenti dengan semua ini. Berhenti dari persahabatan yang telah dibangun sejak dulu oleh para leluhur mereka. Berhenti hidup berdampingan antara kaum penyihir dan Bonpo. Berusaha untuk tidak mengenal bahkan untuk saling melupakan dan yang paling menyedihkan adalah sebuah peraturan baru yang dibuat oleh Raja Sceeliryn. Bonpo dan Penyihir tidak boleh hidup bersama, Bonpo dan Penyihir tidak boleh menikah, Bonpo dan Penyihir tidak boleh saling bersentuhan meski hanya untuk meniupkan makanan, itu tidak boleh. Semua orang harus menaati peraturan ini. Termasuk penjilat pengadu domba yang membuat ini semua terjadi.

Dewi keberuntungan lagi lagi tak sengaja menemukan dunia baru yang mirip dengan dunia Bonpo dan penyihir. Itu adalah bumi. Ya, bumi. Dunia hijau biru yang akhirnya seluruh Bonpo berimigrasi kesana dengan sedikit kekuatan dewi keberuntungan. Disanalah para Bonpo yang akhirnya hidup tanpa sihir dan memutuskan untuk menghapus sihir di kehidupan mereka dan menggantinya dengan perasaan yang tak ada habisnya. Perasaan yang mereka menganggap itu akan membuat mereka saling menyayangi tanpa tumpah darah yang harus terjadi. Mereka bukan takut, tapi mereka tidak ingin ada lagi yang harus kehilangan nyawanya hanya karena sihir. Dewi keberuntungan yang melihat mereka telah berubah jauh dari yang dulu, memutuskan untuk mengganti nama bagi kaum mereka. Kaum Manusia.

Di negara Kitsuishi, dunia yang kini hanya menjadi rumah para penyihir. Kehidupan disini berjalan seperti biasa. Suami dari Ratu Chavius dengan terpaksa harus menerima kepergian sang Istri yang mati menggantung dirinya sendiri karena depresi dan Ia harus memimpin menggantikan Istrinya. Tapi, kehidupan yang berjalan seperti biasa ini tak bertahan lama. Hanya beberapa bulan sampai Raja memilih mati karena sakit hati yang dideritanya yang belum bisa menerima kepergian istrinya dengan kematian begitu tragis. Ia menggantung dirinya dengan tali yang sama digunakan oleh mendiang istrinya. Ya, tak ada yang memimpin dunia ini. Tak ada pemerintahan yang mengatur negara Kitsuishi. Kehidupan pun berubah 180°. Hingga lagi, dewi keberuntungan pun tak sengaja turun di negara Kitsuishi dan menunjuk seorang Gadis muda sebagai Ratu yang akan memimpin Dunia penyihir ini. Ratu muda cantik nan pintar yang akhirnya mau dan bersedia untuk menjadi orang yang paling dihormati namun paling punya banyak pekerjaan. Gadis ini juga yang membuat peraturan baru atas permintaan dewi keberuntungan bahwa Penyihir tak lagi mengenal perasaan. Hidup para penyihir hanya untuk mendapat mantra baru agar terus bisa menjadi lebih kuat. Hidup para penyihir seluruhnya diatur oleh aturan yang dititpkan dewi keberuntungan kepada gadis muda yang menjadi ratu itu. Namanya Deaavrose Aischr.

Senyuman keceriaan perlahan menjadi datar tanpa ekspresi. Tak ada lagi rasa kecewa dan kesedihan. Tak setetes pun air mata jatuh di wajah wajah putih mereka. Hanya tatapan dingin tanpa sapaan. Pernikahan mereka tak lagi didasari cinta dan kasih sayang. Melainkan sekedar untuk menaati peraturan. Kuat, lebih kuat, terkuat, dan bertahan lebih lama didunia adalah tujuan hidup mereka. Namun, gadis muda ini yang menjadi seorang Ratu dari para penyihir. Menyimpan rasa sedih di benaknya yang tak bisa ia tumpahkan walau dengan linangan air mata. Datar, tanpa ekspresi tapi masih nampak lengkungan kecil di kedua sudut bibirnya. Entah sampai kapan gadis itu akan menyimpan bunga bunganya yang telah layu. Tak ada yang tahu.

——————————————————

Chapter 1-Who is he?-

“Dunia itu segalanya. Dunia adalah hal yang bisa membuat kita merasakan kebahagiaan. Semua kebahagiaan. Termasuk kasih dan sayang. Tapi dunia juga hal yang membuat kita lupa. Bahwa dibalik itu semua ada yang namanya kesedihan dan kekecewaan. Tapi, semuanya kembali kepada kalian masing masing. Seperti apa kalian menganggap dunia? Seperti apa kalian memandang dunia?” Jelas seorang pria berkaca mata tebal di depan para muridnya. Suasana kelas 11 A begitu tenang sampai ada seorang siswi mengacungkan tangan kanannya. Semua masih sibuk mencatat. Kecuali sang Guru yang menatap siswi berambut ikal itu dengan tanya.

“Ya Nona Carr? Ada yang ingin anda tanyakan?” Tanya Mr.Romy.

siswi yang dipanggil Nona Carr itu menurunkan tangannya. Ia menghela nafas ringan sejenak.

“Kalau dunia itu segalanya. Kenapa kita tidak abadi didunia ini? Bukankah umur manusia paling lama mencapai 103 tahun? Dan saat itu kita juga sudah tidak bisa menganggap dunia adalah segalanya. Bahkan di usia segitu, rasa ingin pergi dari dunia ini tumbuh sekuat perasaan ingin mati.” Tanya siswi manis itu.

Mr.Romy tersenyum simpul. Lalu menggambar sesuatu di papan tulis. Tidak detil namun tampak itu adalah kalimat yang ditulis dengan huruf jaman dulu.

“Dalam bahasa Indonesia, ini berarti Cinta di dunia. Dan anggap papan tulis ini adalah dunia yang begitu luasnya.” Ujar Mr.Romy. Alifa Huctnis Carr, siswi itu masih menatap tidak mengerti.

“Dunia adalah segalanya. Ada cinta didalam nya. Ada benci dibaliknya. Ada sebuah magnet yang berbentuk perasaan yang menarik kita untuk terus berada didunia ini. Usia manusia memang tidak ada yang abadi. Tapi, cinta di dunia yang segalanya ini. Membuat kita merasa abadi. Nanti, saat berusia 90 tahun. Rasa bencilah yang membuat kita merasa ingin hidup. Tapi cinta yang membuat kita merasa ingin mati. Meski ada yang menganggap itu kekecewaan. Namun.. bukankah cinta kita pada penciptanya akan membuat kita merasa ingin kembali? Dunia adalah segalanya, bukan berarti kita harus terus berada di dalamnya. Melainkan merasakan semua perasaan dengan orang orang terkasih yang membuat kita merasa ingin kembali dengan Sang Pencipta dan segera pergi ke alam abadi yang tak bisa disebut dunia. Tapi, tempat paling indah yang akan menggantikan segalanya.” jelas Guru itu panjang lebar, kemudian ia duduk dan membenarkan kaca matanya.

“Cinta itu hal yang abadi bukan? Lalu, cinta bukan hanya ada didunia? Kenapa tidak cinta saja yang dianggap sebagai sesuatu yang se…?”

TEEEET… TEEEET… Bel istirahat berbunyi. Alifa menghela nafas ringan, sambil sedikit memutar bola matanya.

“Ok.. Saya harus pergi, terimakasih.” Pamit Mr.Romy pada semua murid dikelas dan begitu saja pergi meninggalkan ruangan tanpa membuat janji akan menjawab pertanyaan yang baru saja Alifa sampaikan.

“Bodoh!” Umpat Alifa di kursinya.

***

SMA Haiou. Begitulah sebutan untuk SMA yang dominan dengan kemeja putih, celana panjang atau rok warna coklat bermotif kotak kotak tak seimbang dan blazer biru gelap. Dasi kupu kupu untuk perempuan. Dan dasi biasa untuk laki laki. Tak lupa sepatu pantofel warna hitam. (Bayangkan seragam negri sakura) Sama seperti sekolah pada umumnya, punya beberapa ruang kelas, kantin, toilet, ruang seni, perpustakaan, uks dan sebagainya. Namun, yang berbeda adalah di bagian dekat ruang seni. Ya, ada museum Haiou disana. Tepatnya 66 langkah dari gerbang menuju museum yang diapit antara ruang seni dan kelas 12 B.

Museum yang menyimpan banyak sejarah SMA Haiou itu selalu terkunci. Dibuka hanya sehari sekali untuk dibersihkan. Tak ada murid atau guru yang masuk kesana kecuali penjaga museum. Ya, sedikit menyimpan aura mistis disekolah tidak masalah bukan(?).

~~Di dalam mimpi, aku bertemu denganmu. Perbincangan hangat buat musim panas berhenti. Aku memaku seorang diri. Lihatlah iblis disekitar mu, kasih.. Puing harapan.Yang tampak seperti ku~~

Suara seorang perempuan tiba tiba saja terdengar. Meski tanpa iringan musik apapun, tetap terdengar indah dan suara itu berasal dari ruang seni. Benar saja, didalam ruang seni tengah ada tes penilaian pelajaran Seni Musik, yakni menyanyi. Sepertinya memang hanya menyanyi.

~~Karena semua, mimpi hanya khayal ku sendiri~~

“Ya, itu cukup bagus. Selanjutnya.. Rezka Luff Kizarhyl” Panggil Guru cantik didepan para murid sambil meletakan kembali buku panjang tipis itu dimeja nya.

Seorang siswi. Tentu saja gadis remaja. Ia yang punya rambut lurus dan sedikit kemerahan. Ia mengenakan kemeja putih berlengan panjang tanpa blazer biru gelap yang seharusnya ia pakai sekarang. Sepatunya putih tak sesuai aturan dengan kaos kaki panjang dan rok nya yang diatas lutut. Gadis ini maju kedepan dan berdiri disana.

“Kau tahu tugasmu Nona Kizarhyl.” Tegas Mrs.Rose.

Rezka Kizarhyl menatap semua orang didepannya dengan tatapan yang seakan berkata ‘Berhenti membicarakanku. Pecundang’. Bisa ditebak. Karena murid murid lainnya, melihatnya sambil berbisik bisik dan tertawa kecil. Sangat tertera bahwa mereka tengah membicarakan Rezka yang memandang mereka semua dengan sinis. “Huft.. Kenapa aku harus melakukan ini? Menyebalkan.” Ungkap Rezka dalam hatinya.

“Berikan yang terbaik.” Ucap salah seorang dari mereka sambil tersenyum ramah pada Rezka. Rezka menarik nafasnya perlahan sambil membayangkan nada nada yang akan mengiringi nyanyiannya. Meskipun tidak nyata. Ia pun mulai membuka mulutnya

~~I hope this tears will stop running someday. Someday after this darkness disappear. I hope the warm sunshine dries these tears.~~

Beberapa dari mereka mulai melihat Rezka. Meski masih ada yang bicara mengabaikannya.

~~Everyday i hold on, comforting my self. It will be alright. But it still make me a little scared.~~

Kini hampir semuanya melihat Rezka bernyanyi. Dan siswa ‘itu’ masih menikmatinya.

~~I told my self to believe in me but I don’t. Now I don’t know how longer I can hold on.~~

Ia tersenyum. Tersenyum dalam melody nya sendiri.

~~I hope this tears will stop running someday. Someday after this darkness disappear. I hope the warm sunshine dries these tears.~~

Semua melihatnya. Tak ada lagi bisikan disana. Hanya sebuah pandangan pada gadis yang masih asik dengan melody nya. Dan pandangan intens dari siswa yang punya surai hitam kecoklatan dengan wajah yang tidak putih namun manis.

~~But it will pass. Altough the night is long the sun will come up.~~

Siswa itu. Yang tadi menyemangatinya. Tersenyum hangat. Sehangat ia akan mengatakan. Kau berhasil.

~~Someday my painful heart will be healed. Someday, someday after the darkness disappear. I hope the warm sunshineeeee…

DEG

Gadis itu berhenti bernyanyi. Bukan tanpa alasan. Tapi ia, hampir saja kehilangan suaranya. Murid murid lainnya mulai berbisik lagi dan menatapnya dengan tatapan yang lagi lagi membuatnya seperti ingin lari sejauh mungkin. Sementara murid lelaki yang satu itu. Yang sedari tadi matanya tak behenti memandang Rezka yang menunduk menutup mulutnya. Kini tatapan nya berubah. Seakan berkata “Apa yang kau lakukan?” dan Rezka hanya bisa terpaku di tempatnya.

“Ekhm.. Ya, Sepertinya cukup. Selanjutnya.. Kau, kacamata kuning?”

Rezka kembali ketempat duduknya. Tepatnya dibelakang kursi sampingnya siswa ‘itu’ dan kini seorang murid lain dengan gigi putih dan kacamata bulatnya maju kedepan lalu bernyanyi tanpa aba aba.

***

Rambutnya hitam dan lebat. Kulit wajahnya seputih milik bangsa vampir. Ya, benar benar putih. Untuk ukuran seorang laki laki itu memang sedikit aneh. Tapi, tak masalah juga. Siapa yang akan mengomentarinya.

Nampaknya anak SMA ini orang kaya. Terlihat dari sepatu pantofel nya yang mencilak bukan main. Kacamata nya juga bagus. Ya, bagus. Dan kini ia melepas kacamatanya didepan temannya. Seorang teman perempuan.

“Aku benci menyanyi. Sudah kubilang kan, aku tidak bisa. Aku bahkan hampir kehilangan suaraku. Mungkin ini terakhir kalinya aku bernyanyi.” Keluh gadis itu. Tiba tiba ia berhenti berjalan dikoridor dan memilih duduk di kursi halaman taman sekolah. Begitupun si ‘anak SMA’ yang tadi disamping nya, ia mengikutinya.

“Tadi itu awal yg bagus. Jangan cemas. Sebaiknya untuk sementara, kau jangan banyak bicara ya? Aku akan khawatir padamu nanti. Aku kan masih ingin mendengar suara mu.” Ucap siswa itu.

“Kau menggodaku? Menyebalkan..” Rezka memutar bola matanya singkat.

“Aku serius. Kau sudah makan siang dan minum obat?” Rudy menatap Rezka tajam. Namanya Rudy Ramon Wikynesh. Jelas terbaca di blazer biru gelap nya.

“Ehmm.. Belum..”

“Baiklah, setelah makan siang. Temani aku bermain basket, oke?”

Rezka menaikkan kedua alisnya dan sedikit mengerucutkan bibirnya. Menatap Rudy dengan tatapan menggoda. Tidak, lebih tepatnya meledek si Tuan Wikynesh.

“Tidak mau.” Jawab Rezka dengan nada ketus. Sangat ketus. Bahkan ia menggelengkan kepalanya.

“Kau mau mati ya?” Ancam Rudy ringan.

“Hey! Aku serius.” Ucap Rezka lalu menaikan sudut bibirnya dengan cepat. Rudy tertawa renyah melihat ekspresi Rezka yang nampak kesal.

***

Pelajaran bahasa jepang akhirnya dimulai. Di kelas 12.4 tepatnya. Di ruangan dekat tangga kedua lantai empat yang dihuni 20 murid dan 1 guru. Prof. Stone, seorang wanita dengan surai coklat manis, kulit putih, dan mata sipit nya. Hidungnya imut, wajahnya cantik dan nampak fresh meski usianya telah hampir kepala 4. Ia tengah mengajar tentang budaya jepang. Ya, budaya jepang.

TOK TOK TOK

“Masuk.”

Pintu berdecit pelan saat perlahan terbuka. Pandangan mereka yang tadi serius pada buju masing masing kini beralih pada pintu abu abu yang tengah terbuka. Ada seseorang disana. Dia, seketika saja membuat para murid perempuan membulatkan matanya dan terus menatap. Dan mereka para murid laki laki lebih terkaget lagi. Tentu saja, pria tua, pendek, kulit gelap, banyak kerutan, dan memegang sapu lidi, serta seragam merah mudahnya yang menunjukan bahwa ia seorang penyapu di sekolah ini. Apa yang dilihat para gadis dari pria tua itu. Hey, tunggu ada seseorang dibalik pria tua itu. Ya, tinggi dan tampan. Ia sudah rapi dan pas dengan kemeja putih, dasi, celana panjang coklat dan blazer biru gelap yang mengikat tubuhnya. Rambutnya yang kuning dan mata safirnya benar benar membuat para gadis lupa bahwa hidungnya mancung dan bibirnya yang seksi dengan warna merah muda. Mungkinkah ia bisa disebut sempurna?

“Maaf professor, saya mengantar Murid baru.” Ucap pria tua itu.

Prof. Stone mengangguk pelan dan orang yang disebut murid baru itu mulai masuk ruangan. Tidak, ia benar benar tampan dengan rambut yang memperlihatkan kedua telinganya. Pria tua itu mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya menutup pintu dan pergi. Lalu, murid baru ini berdiri di depan sambil meletakan kedua tangannya di dalam saku celananya.

“Kenalkan dirimu.” Perintah Prof. Stone

“Namaku Denny Singing Clew.”

HAHAHA

Tertawa. Mereka semua tertawa. Keras dan nyaring.

“Kenapa kau tidak mulai menyanyi? Singing Clew?” Ucap seorang murid laki laki dengan rambut yang dikuncir. Lebih tepatnya mengejek.

“Hey! Itu tidak baik. Denny, kau sudah punya pacar belum?” Timpal seorang siswi berambut hitam pendek sebahu yang duduk dibarisan paling depan.

“Dasar genit! Lihat wajahnya, dia pasti ketakutan karena pertanyaan mu itu.” Balas lagi siswi yang duduk dibelakang. Sambil melirik kearah murid baru yang nampak berekspresi datar dan tenang.

“Harap tenang semuanya. Mr. Clew silakan cari kursi anda. Saya akan kembali mengajar.” Tegas Prof.Stone

Denny si murid baru duduk di kursi dekat jendela paling pojok belakang. Beberapa gadis masih memperhatikannya mencoba berkata hai. Tapi ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Masih dengan ekspresi datar nya matanya terfokus pada satu arah. Lapangan basket. Bosan diacuhkan, para gadis pun kembali pada kesibukannya sendiri. Namun masih ada satu orang yang memperhatikannya. Siswi berambut ikal disamping nya. Kedua matanya yang hijau diam diam mencuri pandang pada pria tampan itu. Bukan tanpa alasan tapi karena gadis ini merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikirannya saat pertama kali melihat pria ini. Sebuah pertanyaan yang seharusnya tak muncul.

“Orang ini? Aku seperti mengenalnya, tapi dimana.” Tanya Alifa dalam hatinya. Ia mencoba mengingat masih dengan memperhatikannya. Memperhatikannya.

–to be continued-

Posted from WordPress for Android

Sunny Cerpen

Hujan, Pelangi dan Aku

Namaku Mentari, aku punya teman baik bernama Pelangi. Setiap hari kami selalu bermain bersama, terkadang sampai tidak mengenal waktu. Sampai-sampai orang tua ku juga terkadang marah padaku karena terlalu banyak bermain. Tapi tidak pada pelangi, ia adalah anak yatim piatu yang selalu ceria dan menebar senyumnya, itu adalah salah satu alasan mengapa aku begitu menyukainya. Ya, aku menyukainya.

Suatu hari aku dan Pelangi bermain di taman. Kami bernyanyi bersama dan menari bersama.

“Aku akan bersinar seperti mentari dan menerangi dunia.” Aku menyanyikan lagu ku sendiri dengan nada asal begitupun Pelangi.

“Aku ingin memberi warna warni indah dan tersenyum untuk dunia.” Pelangi bernyanyi lalu berputar mengelilingiku. Dia sangat cantik, aku jadi iri padanya.

Kami berhenti bernyanyi lalu duduk di kursi taman. Kami memandangi matahari yang tengah bersinar terang.

“Lihat Mentari, setiap hari Matahari selalu menyinari bumi. Aku iri padanya. Seandainya saja, ada yang bernama pelangi di langit.” Ucap Pelangi.

“Tentu akan sangat cantik langit itu. Ya, sangat cantik bukan?” Aku melihat matanya sedikit layu namun ia tetap tersenyum. Aku tahu ia tak pernah menangis hanya untuk melihat pelangi.

“Tapi sayang Ri, pelangi hanya datang setelah langit menangis. Hujan..” Ucapnya lagi. Kini ia memandangku nanar.

“Aku tak pernah ingin langit menangis, meskipun hanya untuk sekali saja melihat pelangi dilangit.” Lanjut Pelangi. Ia kembali menatap langit yang begitu cerah, seakan matahari itu tersenyum ia membalas senyumannya.

“Huft.. Pelangi. Kamu baik dan..”

TIK TIK TIK

Perlahan air langit membasahi wajahku. Aku menarik tangannya dan mencari tempat berteduh. Kulihat pelangi begitu kedinginan. Hujan pun semakin deras dan sangat deras.

“Kapan hujan ini berhenti, deras sekali. Kita tak bisa pulang kalau terus begini.” Ucap ku.

Hari ini begitu aneh. Tadi langit cerah tiba tiba kurasakan tetesan air hujan. Lalu perlahan awan hitam berkumpul dan menutupi matahari. Langit berubah gelap dan mengerikan. Hujan tak henti henti nya membasahi bumi.

Tiga jam sudah hujan begitu deras. Kurasakan seluruh tubuhku dingin. Untung tidak sampai beku. Aku melihat pelangi yang memandangi hujan. Kali ini bibirnya membentuk garis datar.

“Kenapa langit menangis ya?” Ku dengar gumamam dirinya. Ia nampak tak senang. Mungkin karena hujan nya begitu lama dari pada yang biasa terjadi. Atau bahkan hujan ini tak akan pernah berhenti.

“Hiks.. Hiks.. Hiks..”

Tangis itu, seperti tangisan seorang laki laki yang tak jauh dari sini. Kedua mataku pun sibuk melihat seluruh isi taman. Dan nampak seorang anak lelaki tengah berjalan menunduk lalu duduk di kursi taman yang tadi kami duduki. Ia nampak sesenggukan dan menangis tanpa henti. Air matanya menetes bercampur dengan air hujan.

“Hiks.. Hiks..” Ku dengar tangisan nya semakin jelas, ku lihat Pelangi juga memperhatikan anak itu.

“Ri, kita harus membantu anak itu. Aku tak tega melihat nya menangis. Sama seperti langit itu.”

Aku menangguk. Ia menarik lenganku menuju anaka itu. Kini kami benar benar basah kuyup oleh hujan.

Wajah anak itu mendongak, ku lihat wajahnya yang tampan dan putih pucat. Matanya sembab, mungkin karena terlalu banyak menangis. Apa ia sudah menangis selama langit menangis?

“Hai.. Ayo kita berteduh disana. Kamu tidak mau sakit kan?”

Pelangi mengulurkan tangannya, tapi anak itu menggeleng. Tangisnya pecah.

“Ayo!” Aku ikut mengulurkan tanganku padanya dan ia tetap tidak mau.

Pelangi dan aku tak bisa memaksanya, kami pun duduk di samping anak itu. Aku di kiri nya dan Pelangi di kanannya.

“Kenapa kamu terus menangis?” Tanya Pelangi. Anak itu kini menatap Pelangi.

“Aku sendirian. Kedua orang tua ku baru saja meninggal karena kecelakaan. Aku tak ingin sendirian.” Jawabnya. Baru kusadari tangannya terluka. Bekas darah nya telah terhapus air hujan.

“Kalau begitu sekarang kami jadi temanmu. Boleh ku tahu siapa namamu?” Pelangi menjawab enteng. Ia kembali mengulurkan tangannya. Kini anak itu menjabat tangan Pelangi dengan nampak ragu.

“Nama ku Hujan.”

Aku sedikit terkejut mendengar namanya. Hujan? Kulihat air matanya tidak sederas sebelumnya. Begitupun hujan yang sedikit mereda meski masih terasa airnya.

Pelangi tersenyum. Ia tak nampak terkejut seperti ku.

“Aku Pelangi. Aku selalu ingin melihat Pelangi.” Balas Pelangi. Mereka melepaskan jabatan tangannya.

“Aku Mentari. Aku akan selalu menyinari dunia. Aku memang bukan matahari. Hey, lihat.. bukan kah wajah ku bersinar.” Tanpa permisi aku ikut bicara dengan mereka. Sambil menghapus air di wajahku. Aku tersenyum sangat cerah.

Hujan tertawa. Entah apa yang lucu. Tawanya renyah di telingaku. Pelangi lagi lagi tersenyum seakan memberi warna pada tawa Hujan. Aku ikut tertawa saja. Mungkin ia menertawakan rambut panjang ikal ku yang jadi agak lurus terkena air hujan.

Kami bicara dan tertawa bersama. Pelangi mulai menyanyi diikuti senandung nanana ku. Hujan bertepuk tangan seolah memberi musik.

Hujan berhenti. Aku tak lagi merasakan air mengguyurku. Perlahan warna warni indah menyiram bumi, di temani cahaya terang matahari yang menghilangkan awan awan hitam menyeramkan tadi. Pelangi tersenyum. Begitupun Hujan si tampan disamping ku.

“Itu benar benar Pelangi.” Gumam Pelangi. Ia nampak menghitung warna di langit.

“Mentari, Hujan.. Lihat! Itu pelangi.”  Pelangi benar benar senang. Aku pun begitu. Hujan nampak memeriksa langit biru tanpa awan itu.

“Indah dan cantik sepertimu.” Ucap Hujan. Ia menatap Pelangi.

“Ya, dia sangat cantik.” Lanjutku.

“Matahari itu juga sangat manis sepertimu Mentari.” Ucap Hujan lagi. Aku senang mendengarnya.

“Ini semua karena Hujan..” Pelangi masih menatap langit.

“Tapi..” Kini kedua maniknya fokus pada wajah Hujan.

“Aku tak ingin kau menangis lagi. Aku tak ingin langit ikut menangis, saat kau menangis Hujan.” lanjut Pelangi. Ucapannya secara tak langsung menyadarkan ku bahwa hujan yang terjadi tiga jam ini karena seorang anak lelaki tampan bernama Hujan. Karena Hujan menangis. Terdengar tak logis bukan?

Hujan tersenyum. Aku pun begitu. Aku berjalan ke tengah mereka. Merangkul mereka berdua.

“Jangan ada yang menangis lagi ya. Kalau kalian menangis maka langit akan menangis. Terutama kamu Hujan. Kamu harus belajar tertawa denganku dan belajarlah tersenyum dengan Pelangi.” Ucap ku. Kulihat senyum mereka tak pernah pudar.

“Iya Mentari. Hujan, kamu bisa tinggal bersama ku di Panti Asuhan.” Ucap Pelangi.

Ku lihat matanya nampak berair. Bukan sebuah kesedihan melainkan haru. Ia meneteskan air mata nya lagi, matanya berkaca kaca. Bisa kurasakan setetes air langit menyentuh hidungku. Tapi langit tetap cerah. Begitupun wajahnya yang mengukir senyuman manis. Lebih manis dari pada senyuman yang sering kulihat di wajah Pelangi. Aku memeluk mereka berdua erat.